Thursday, 2 April 2009

Gender Dalam Perspektif Islam

ILMU KALAM
Gender Dalam Perspektif Islam
Oleh : Isma’il

I. Pendahuluan
Dari Abu Bakrah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan kekuasaan mereka kepada seorang perempuan." ( HR. Bukhari ).
Hadits di atas merupakan landasan dari beberapa ulama’ yang melarang wanita untuk menjadi khalifah atau pemimpin suatu negara. Hal ini pulalah yang telah mengakibatkan beberapa pemikir-pemikir yang berasal dari barat untuk menyerang Islam lewat isu gender. Menurut pandangan penulis, perempuan yang dimaksud oleh Rasulullah SAW merupakan sifat seorang perempuan pada umumnya ketika Nabi SAW masih hidup. Perempuan yang disebut dalam hadits ini merupakan gambaran kelemahan dan ketergantungan seorang perempuan terhadap laki-laki. Hal inilah yang mengakibatkan Rasulullah SAW mengatakan bahwa tidak akan bahagia suatu kaum yang di pimpin oleh seorang perempuan yang tergantung terhadap laki-laki. Nah, pada makalah ini saya tidak terlalu membicarakan tentang kepemimpinan seorang perempuan dalam Islam, tapi peranan seorang perempuan yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kaum lelaki dalam persoalan amaliyah dan sosial kemasyarakatan.
Isu gender dalam persepektif Islam merupakan isu yang menarik dibicarakan di kalangan akademisi, karena banyak hal yang dapat kita gali dan kita pelajari untuk lebih mengetahui nilai-nilai serta kandungan di balik isu yang berkembang tersebut lewat kacamata Al-Qur’anul Karim dan hadits Nabi Muhammad SAW.
Ketika isu gender di angkat, yang timbul dalam benak kita adalah diskriminasi terhadap wanita dan penghilangan hak-hak terhadap mereka. Gender yang telah diperjuangkan oleh beberapa kalangan, baik dari kalangan akademisi atau dari kalangan yang menanggap bahwa Islam adalah agama yang memicu kehadiran isu gender tersebut di dunia ini. Tentunya para orientalis yang berbasis misionarisme ini ingin mendiskreditkan umat Islam dengan mengangkat isu ini dalam berbagai tulisan dan buku atau artikel-artikel yang menyudutkan dan memberikan opini secara sepihak tentang islam dan gender.
Islam tidak membedakan antara hak dan kewajiban yang ada pada anatomi manusia, hak dan kewajiban itu selalu sama di mata Islam bagi kedua anatomi yang berbeda tersebut. Islam mengedepankan konsep keadilan bagi siapun dan untuk siapapun tanpa melihat jenis kelamin mereka. Islam adalah agama yang telah membebaskan belenggu tirani perbudakan, persamaan hak dan tidak pernah mengedapankan dan menonjolkan salah satu komunitas anatomi saja. Islam hadir sebagai agama yang menyebarkan kasih sayang bagi siapa saja.
Rasulullah telah memberikan nasehat kepada para muslim agar mengormati dan menghargai perempuan seperti sabdanya : “Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik terhadap keluarganya, dan aku adalah orang terbaik di antara kamu terhadap keluargaku. Orang yang memuliakan kaum wanita adalah orang yang mulia, dan orang yang menghina kaum wanita adalah orang yang tak tahu budi”. ( HR. Abu Asakir ).

II. Pengertian Gender
Secara umum, pengertian gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Sejauh ini persoalan Gender lebih didominasi oleh perspektif perempuan, sementara dari perspektif pria sendiri belum begitu banyak dibahas. Dominannya perspektif perempuan sering mengakibatkan jalan buntu dalam mencari solusi yang diharapkan, karena akhirnya berujung pada persoalan yang bersumber dari kaum laki-laki. Ada beberapa fenomena yang sering kali muncul pada persoalan Gender.
Kata Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (John M. Echols dan Hassan Sadhily, 1983: 256). Secara umum, pengertian Gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Dalam buku Sex and Gender yang ditulis oleh Hilary M. Lips mengartikan Gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Misalnya; perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciri dari sifat itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain (Mansour Fakih 1999: 8-9).
Heddy Shri Ahimsha Putra (2000) menegasakan bahwa istilah Gender dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian berikut ini: Gender sebagai suatu istilah asing dengan makna tertentu, Gender sebagai suatu fenomena sosial budaya, Gender sebagai suatu kesadaran sosial, Gender sebagai suatu persoalan sosial budaya, Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis, Gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang kenyataan.
Epistimologi penelitian Gender secara garis besar bertitik tolak pada paradigma feminisme yang mengikuti dua teori yaitu; fungsionalisme struktural dan konflik. Aliran fungsionalisme struktural tersebut berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas berbagai bagian yang saling mempengaruhi. Teori tersebut mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam masyarakat. Teori fungsionalis dan sosiologi secara inhern bersifat konservatif dapat dihubungkan dengan karya-karya August Comte (1798-1857), Herbart Spincer (1820-1930), dan masih banyak para ilmuwan yang lain.
Teori fungsionalis kontemporer memusatkan pada isu-isu mengenai stabilitas sosial dan harmonis. Perubahan sosial dilukiskan sebagai evolusi alamiah yang merupakan respons terhadap ketidakseimbangan antar fungsi sosial dengan struktur peran-peran sosial. Perubahan sosial secara cepat dianggap perubahan disfungsional.
Hilary M. Lips dan S. A. Shield membedakan teori strukturalis dan teori fungsionalis. Teori strukturalis condong ke sosiologi, sedangkan teori fungsionalis lebih condong ke psikologis namun keduanya mempunyai kesimpulan yang sama. Dalam teori itu, hubungan antara laki-laki dan perempuan lebih merupakan kelestarian, keharmonisan daripada bentuk persaingan (Talcott Parson dan Robert Bales). Sistem nilai senantiasa bekerja dan berfungsi untuk menciptakan keseimbangan dalam masyarakat, misalnya laki-laki sebagi pemburu dan perempuan sebagai peramu. Perempuan dengan fungsi reproduksinya menuntut untuk berada pada peran domestik. Sedangkan laki-laki pemegang peran publik. Dalam masyarakat seperti itu, stratifikasi peran gender ditentukan oleh jenis kelamin (sex).
Kritik terhadap aliran tersebut bahwa struktur keluarga kecil yang menjadi ciri khas keluarga modern menyebabkan perubahan dalam masyarakat. Jika dulu tugas dan tanggung jawab keluarga besar dipikul bersama-sama, dewasa ini fungsi tersebut tidak selalu dapat dilakukan.
Sedangkan teori konflik diidentikkan dengan teori marxis karena bersumber pada tulisan dan pikiran Karl Marx. Menurut teori itu, perubahan sosial, terjadi melalui proses dialektika. Teori itu berasumsi bahwa dalam susunan masyarakat terdapat beberapa kelas yang saling memperebutkan pengaruh dan kekuasaan.
Friedrich Engels, melengkapi pendapat Marx bahwa perbedaan dan ketimpangan Gender tidak disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin (biologis), akan tetapi merupakan divine creation.
Engels memandang masyarakat primitiv lebih bersikap egaliter karena ketika itu belum dikenal adanya surplus penghasilan. Mereka hidup secara nomaden sehingga belum dikenal adanya pemilikan secara pribadi. Rumah tangga dibangun atas peran komunitas. Perempuan memiliki peran dan kontribusi yang sama dengan laki-laki.
Menurut Marxisme, penindasan perempuan dalam dunia kapitalis karena mendatangkan keuntungan. Pertama, eksploitasi wanita dalam rumah tangga akan meningkatkan meningkatkan produksi kerja laki-laki di pabrik-pabrik. Kedua, perempuan yang terlibat peran produksi menjadi buruh murah, memungkinkan dapat menekan biaya produksi, sehingga perusahaan lebih diuntungkan. Ketiga, masuknya perempuan sebagai buruh murah dan mengkondisikan buruh-buruh cadangan akan memperkuat posisi tawar pihak kapitalis, mengancam solidaritas kaum buruh. Ketiga, hal tersebut dapat mempercepat akumulasi kapital bagi kapitalis (Mansour Fakih, 1996: 87-88).
Sedangkan Dahrendarf dan Randall Collins tidak sepenuhnya sependapat dengan Marx dan Engels. Menurutnya konflik tidak hanya terjadi pada perjuangan pekerja kepada pemilik modal, tetapi juga disebabkan oleh faktor kesenjangan antara anak dan orang tua, istri dengan suami, yunior dengan senior dan sebagainya.


III. Gender Dalam Perspektif Islam
Dalam perspektif Islam, semua yang diciptakan Allah SWT berdasarkan kudratnya masing-masing.

“Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dengan qadar” (QS. Al-Qamar: 49).
Para pemikir Islam mengartikan qadar di sini dengan ukuran-ukuran, sifat-sifat yang ditetapkan Allah SWT bagi segala sesuatu, dan itu dinamakan kudrat. Dengan demikian, laki-laki dan perempuan sebagai individu dan jenis kelamin memiliki kudratnya masing-masing. Syeikh Mahmud Syaltut mengatakan bahwa tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan berbeda, namun dapat dipastikan bahwa Allah SWT lebih menganugerahkan potensi dan kemampuan kepada perempuan sebagaimana telah menganugerahkannya kepada laki-laki. Ayat Al-Quran yang populer dijadikan rujukan dalam pembicaraan tentang asal kejadian perempuan adalah firman Allah dalam QS. An-Nisa’ ayat 1 :

”Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu, yang telah menciptakan kamu dari diri (nafs) yang satu, dan darinya Allah menciptakan pasangannya dan keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak..............”
Yang dimaksud dengan nafs di sini menurut mayoritas ulama tafsir adalah Adam dan pasangannya adalah istrinya yaitu Siti Hawa. Pandangan ini kemudian telah melahirkan pandangan negatif kepada perempuan dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian laki-laki. Tanpa laki-laki perempuan tidak ada, dan bahkan tidak sedikit di antara mereka berpendapat bahwa perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk Adam. Kitab-kitab tafsir terdahulu hampir bersepakat mengartikan demikian.
Kalaupun pandangan di atas diterima yang mana asal kejadian Hawa dari rusuk Adam, maka harus diakui bahwa ini hanya terbatas pada Hawa saja, karena anak cucu mereka baik laki-laki maupun perempuan berasal dari perpaduan sperma dan ovum. Allah menegaskan hal ini dalam QS. Ali Imran: 195

” Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, Pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan Pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik."
Maksud dari sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain adalah sebagaimana laki-laki berasal dari laki-laki dan perempuan, Maka demikian pula halnya perempuan berasal dari laki-laki dan perempuan. kedua-duanya sama-sama manusia, tak ada kelebihan yang satu dari yang lain tentang penilaian iman dan amalnya.
Adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak dapat disangkal karena memiliki kudrat masing-masing. Perbedaan tersebut paling tidak dari segi biologis. Al-Quran mengingatkan:

” Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.

Ayat di atas mengisyaratkan perbedaan, dan bahwa masing-masing memiliki keistimewaan. Walaupun demikian, ayat ini tidak menjelaskan apa keistimewaan dan perbedaan itu. Namun dapat dipastikan bahwa perbedaan yang ada tentu mengakibatkan fungsi utama yang harus mereka emban masing-masing. Di sisi lain dapat pula dipastikan tiada perbedaan dalam tingkat kecerdasan dan kemampuan berfikir antara kedua jenis kelamin itu. Al-Quran memuji ulul albab yaitu yang berzikir dan memikirkan tentang kejadian langit dan bumi. Zikir dan fikir dapat mengantar manusia mengetahui rahasia-rahasia alam raya. Ulul albab tidak terbatas pada kaum laki-laki saja, tetapi juga kaum perempuan, karena setelah Al-Quran menguraikan sifat-sifat ulul albab ditegaskannya bahwa “Maka Tuhan mereka mengabulkan permintaan mereka dengan berfirman; “Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan”. (QS. Ali Imran: 195). Ini berarti bahwa kaum perempuan sejajar dengan laki-laki dalam potensi intelektualnya, mereka juga dapat berpikir, mempelajari kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati dari zikir kepada Allah serta apa yang mereka pikirkan dari alam raya ini.
Jenis laki-laki dan perempuan sama di hadapan Allah. Memang ada ayat yang menegaskan bahwa “Para laki-laki (suami) adalah pemimpin para perempuan (istri)” (QS. An-Nisa’: 34), namun kepemimpinan ini tidak boleh mengantarnya kepada kesewenang-wenangan, karena dari satu sisi Al-Quran memerintahkan untuk tolong menolong antara laki-laki dan perempuan dan pada sisi lain Al-Quran memerintahkan pula agar suami dan istri hendaknya mendiskusikan dan memusyawarahkan persoalan mereka bersama.
Sepintas terlihat bahwa tugas kepemimpinan ini merupakan keistimewaan dan derajat tingkat yang lebih tinggi dari perempuan. Bahkan ada ayat yang mengisyaratkan tentang derajat tersebut yaitu firmanNYA, “Para istri mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi para suami mempunyai satu derajat/tingkat atas mereka (para istri)” (QS. Al-Baqarah: 228). Kata derajat dalam ayat di atas menurut Imam Thabary adalah kelapangan dada suami terhadap istrinya untuk meringankan sebagian kewajiban istri. Al-Quran secara tegas menyatakan bahwa laki-laki bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, karena itu, laki-laki yang memiliki kemampuan material dianjurkan untuk menangguhkan perkawinan. Namun bila perkawinan telah terjalin dan penghasilan manusia tidak mencukupi kebutuhan keluarga, maka atas dasar anjuran tolong menolong yang dikemukakan di atas, istri hendaknya dapat membantu suaminya untuk menambah penghasilan.
Jika demikian halnya, maka pada hakikatnya hubungan suami dan istri, laki-laki dan perempuan adalah hubungan kemitraan. Dari sini dapat dimengerti mengapa ayat-ayat Al-Quran menggambarkan hubungan laki-laki dan perempuan, suami dan istri sebagai hubungan yang saling menyempurnakan yang tidak dapat terpenuhi kecuali atas dasar kemitraan. Hal ini diungkapkan Al-Quran dengan istilah ba’dhukum mim ba’dhi – sebagian kamu (laki-laki) adalah sebahagian dari yang lain (perempuan). Istilah ini atau semacamnya dikemukakan kotab suci Al-Quran baik dalam konteks uraiannya tentang asal kejadian laki-laki dan perempuan (QS. Ali Imran: 195), maupun dalam konteks hubungan suami istri (QS. An-Nisa’: 21) serta kegiatan-kegiatan sosial (QS. At-Taubah: 71).Kemitraan dalam hubungan suami istri dinyatakan dalam hubungan timbal balik: “Istri-istri kamu adalah pakaian untuk kamu (para suami) dan kamu adalah pakaian untuk mereka” (QS. Al-Baqarah: 187), sedang dalam keadaan sosial digariskan: “Orang-orang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh (mengerjakan yang ma’ruf) dan mencegah yang munkar” (QS. At-Taubah: 71).Pengertian menyuruh mengerjakan yang ma’ruf mencakup segi perbaikan dalam kehidupan, termasuk memberi nasehat/saran kepada penguasa, sehingga dengan demikian, setiap laki-laki dan perempuan hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar mampu menjalankan fungsi tersebut atas dasar pengetahuan yang mantap. Mengingkari pesan ayat ini, bukan saja mengabaikan setengah potensi masyarakat, tetapi juga mengabaikan petunjuk kitab suci.

IV. Sintesa Teori dan Kendala Perjuangan Gender
Teori dan konsep Gender memang mudah nampaknya, namun aplikasinya bukan perkara gampang, butuh proses dan dukungan penuh serta partisipasi langsung dari masyarakat dunia, jika Gender memang menjadi pilihan utama untuk menyeimbangkan peran-peran individu dalam masyarakat global.
Berpijak pada kasus diatas sebagai contoh paling mutakhir kesetaraan gender belum berjalan optimal di tengah-tengah masyarakat”Indonesia”, betapa indahnya gagasan ini jika telah berjalan optimal, tentu akan berimbas positif pada pembangunan mental individu-individu, elemen terpenting bangsa Indonesia. Di mulai dari lingkup diri pribadi, keluarga, masyarakat, negara dan dunia.
Menurut penulis ada dua faktor yang menghambat perjuangan gender
1. faktor internal yang merupakan faktor dari dalam diri perempuan itu sendiri, misalnya perempuan selalu mempersepsikan status dirinya berada di bawah status laki-laki, sehingga tidak mempunyai keberanian dan kepercayaan diri untuk maju
2. faktor ekternal yaitu faktor yang berada diluar diri perempuan itu sendiri, dan hal yang paling dominan adalah terdapatnya nilai-nilai budaya patriarki yang mendominasi segala kehidupan di dalam keluarga masyarakat, sehingga menomor duakan peran perempuan

Selain itu, juga interprestasi agama yang bias gender, kebijakan umum, peraturan perundang-undangan dan sistem serta aparatur hukum yang dikriminatif serta bias gender, baik di pusat maupun daerah. Di samping itu juga masih kuatnya budaya sebagian besar masyarakat yang menganggap perempuan kurang berkiprah di ruang publik, ditambah dengan adanya ajaran agama yang dipahami secara keliru, membuat perjuangan perempuan untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender semakin sulit tercapai.

V. KESIMPULAN
Ketimpangan peran gender sebagai suatu permasalahan, serta sisi gelap perilaku-perilaku yang di kaitkan dengan maskulin tidak bisa hanya didekati melalui prespektif perempuan saja, namun juga harus secara empati melihatnya dari sisi pria.
Menurut teori dan paradigma konflik peran gender, sosialisasi yang berlebihan dalam hal norma-norma maskulin, di tengah lingkungan yang seksis dan patrichitlah yang berperan dalam hal peran gender, diskriminasi terhadap wanita serta timbulnya sisi gelap perilaku yang di kaitkan dengan maskulin seperti kekerasan terhadap wanita, perkosaan, pelecehan seksual dan lain-lain.
Konflik peran gender merupakan implikasi dari permasalahan-permasalahan kognitif, emosional, ketidak sadaran atau perilaku yang disebabkan oleh peran-peran gender yang dipelajari pada masyarakat yang seksis dan patriarchal.

“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.

BUDAYA SERBA BOLEH ATAU PERMISIF

ILMU KALAM

BUDAYA SERBA BOLEH ATAU PERMISIF

Pendahuluan

Kebudayaan merupakan rumusan-rumusan yang akan kita dapatkan, tetapi dalam tulisan ini kita akan melihat tentang kebudayaan yang telah di rumuskan oleh para ahli antropologi Amerika sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Spradley (1972). Yang melihat kebudayaan bukan sebagai sebuah sistem yang terdiri atas ide atau gagasan, kelakuan sosial dan benda-benda kebudayaan. Tulisan ini melihat kebudayaan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial, yang isinya adalah perangkat model-model pengetahuan yang secara selektif digunakan oleh pendukungnya atau pelakunya untuk menginterpretasikan dan memahami lingkungan yang di hadapinya, dan digunakan sebagai referensi atau pedoman untuk bertindak (dalam bentuk kelakuan dan benda-benda kebudayaan) sesuai dengan lingkungan yang di hadapi. oleh karena itu, pengertian kebudayaan hal ini adalah pedoman menyeluruh bagi kehidupan manusia. Dengan kata lain, kebudayaan-kebudayaan adalah milik masyarakat, sedangkan individu-individu yang menjadi warga masyarakat tersebut mempunyai pengetahuan kebudayaan.

Pengertian Permisif

Secara harfiah permisif bersifat terbuka atau longgar atau serba boleh seperti masyarakat kita sekarang sudah lebih “terbuka” (menerima, membolehkan, mengizinkan), terhadap hal-hal yang dahulu dianggap tabu.

Peradaban modern merupakan buah dari berkembang pesatnya ilmu membuat segalanya mungkin, teknologi menjadikan segalanya menjadi mudah dan dunia terasa menjadi kecil. Kenyataan ini membuat hampir semua segi kehidupan menjadi terbuka, boleh dan serba boleh dimungkinkan (permisif). Inilah barangkali problema besar yang dihadapi oleh umat manusia pada masa sekarang ini.

Dibalik kemajuan ilmu dan teknologi, dunia modern sesungguhnya menyimpan suatu potensi yang dapat menghancurkan martabat manusia. Umat manusia telah berhasil mengorganisasikan ekonomi, menata struktur politik, serta membangun peradaban yang maju untuk dirinya sendiri. Tetapi pada saat yang sama, kita juga melihat umat manusia telah menjadi tawanan dari hasil ciptaannya itu. Sejak manusia mampu mengembangkan potensi-potensi rasionalnya, agaknya pada saat itu ia telah membebaskan diri dari belenggu pemikiran mistis yang irasional dan belenggu pemikiran hukum alam yang sangat mengikat kebebasan manusia. Akan tetapi, di dunia modern ini manusia tidak dapat melepaskan diri dari jenis belenggu lain, yaitu penyembahan pada dirinya sendiri, bahwa dirinyalah yang menjadi penentu dan sentral segalanya, dan tolak ukur boleh atau tidak boleh adalah ukuran rasionalisme yang bebas terhadap ikatan nilai-nilai transedental. Hal ini telah dibuktikan oleh sejarah kebudayaan barat yang berkembang dari satu ekstrim ke ekstrim yang lainnya, yaitu dari alam fikiran barat jaman pertengahan yang berakar pada mitologi Yunani yang seolah-olah Tuhan membelenggu manusia ke alam humanisme secara revolusioner yang beranggapan bahwa kehidupan tidak berpusat pada Tuhan atau Dewa tetapi pada manusia.

Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa di dunia barat dan dunia modern pada umumnya telah terjadi pergeseran konsepsi tentang manusia. Budayanya telah banyak dibentuk dan dipengaruhi oleh mekanisme mesin, yang pada gilirannya membentuk budaya yang serba boleh, terbuka, dan apa yang selama ini dianggap tabu, sekarang dianggap sesuatu yang biasa.

A. Contoh Budaya Permisif

Salah satu budaya permisif misalnya kalau dulu di masyarakat kita, berjalan bersama antara wanita dan pria merupakan hal yang terlarang. Wanita hamil di luar nikah merupakan aib keluarga dan aib desa sehingga ada istilah “cuci kampung“ dengan menyembelih hewan dan sanksi sosial lainnya. Tetapi sekarang agaknya masyarakat telah menganggapnya sebagai sebuah kecelakaan kecil saja. Demikian halnya, seperti budaya barat yang memberikan nasihat kepada anak mereka yang akan berangkat ke kampus. Misalnya dengan pesan “jangan lupa membawa pil KB”, maksudnya agar hubungan kelamin yang dilakukan menjadi save (aman). Di barat, kotak-kotak yang berisi kondom tersedia di kamar mandi umum, yang setiap orang bebas untuk mengambilnya. Di kampus-kampus juga sering dibagikan kondom, agar hubungang sex yang dilakukan para mahasiswa menjadi aman dari resiko kehamilan dan penyakit kelamin serta bahaya HIV AIDS. Inilah suatu gambaran budaya permisif yang telah melanda masyarakat industri di barat, yang sekarang sedang melangkah menuju negara kita, walaupun lambat, tetapi ada gejala menuju ke arah itu. Perilaku manusia telah condong mengikuti alam keterbukaan dan meninggalkan nilai-nilai etika moral dan moral agama.

B. Pandangan menurut Islam

Memformat budaya Islam berarti mewujudkan nilai-nilai Islam ke dalam prilaku sehari-hari. Yaitu menjadikan nilai Islam sebagai bagian inheren bagi kehidupan seseorang, keluarga, masyarakat atau bangsa di nusantara. Dan upaya mewujudkan nilai-nilai Islam ke dalam prilaku ini, idealnya dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pertama lewat pendidikan: pendidikan adalah instrumen paling handal untuk melakukan internalisasi nilai-nilai, termasuk nilai-nilai Islam. Kedua lewat proses pergaulan dalam keluarga: pergaulan semacam ini juga dapat menjadi instrumen paling handal untuk melakukan sosialisasi nilai-nilai termasuk nilai-nilai Islam. Ketiga lewat proses institusionalisasi nilai-nilai, termasuk nilai-nilai Islam yang terjadi di masyarakat: masyarakat cukup handal sebagai instrumen institusionalisasi nilai-nilai, atau pelembagaan nilai-nilai, termasuk nilai-nilai Islam. Keempat untuk melengkapi upaya memberi format budaya islam ini diperlukan upaya yang disebut infrastrukturisasi nilai-nilai. Upaya ke empat ini dilakukan dan berlangsung dalam lingkup bangsa dan negara. Jika dan seandainya ke empat instrumen itu bekerja dengan baik, singkron, sinergis dan berada dalam situasi normal, maka upaya untuk menformat budaya islam sehingga nilai-nilai islam terwujud dalam perilaku sehari-sehari umat islam dapat dilakukan.

C. Kesimpulan

Dalam konteks masyarakat serba boleh ini, segala kemungkinan dapat terjadi. Memudarnya penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, terkikisnya semangat pruralisme, semakin tipisnya antara kebaikan dan keburukan, serta hilangnya identitas dan jati diri seseorang merupakan beberapa kemungkinan yang dapat terjadi setiap saat. Dalam hal ini ada dua komponen dasar yang harus dijadikan sandaran utama, sehingga kita mampu membentengi diri di tengah kondisi masyarakat permisif yang semakin hari semakin jelas. Dua komponen tersebut adalah agama dan pendidikan.

Dalam pandangan penulis, merebaknya berbagai problematika sosial, sebagai imbas dari kondisi masyarakat permisif akhir-akhir ini, disebabkan oleh keringnya nilai-nilai keagamaan dalam setiap individu. Padahal, semua agama pasti mengajarkan seperangkat nilai moral kepada para pemeluknya demi terciptanya manusia-manusia yang berbudi pekerti luhur dan kepribadian mulia. Dapat dipastikan, tidak ada satu agamapun di dunia ini yang menuntut pemeluknya untuk berbuat kejahatan, seperti : membunuh, mencuri, berzina, serta tindak kejahatan kemanusiaan lainnya. Dengan demikian agama sebagai naluri fitrah manusia, jika dipahami dan diaktualisasikan dalam kehidupan real merupakan pondasi utama bagi seseorang untuk membentengi diri dari perangai buruk dan perilaku tercela.

Selanjutnya, setelah agama menjadi pondasi awal untuk membentengi diri dari tindakan amoral dan asusila, komponen berikutnya adalah pendidikan. Pendidikan, seperti diungkapkan para pakar, sejatinya merupakan sarana pembentukan manusia sempurna yang mengedepankan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan kebenaran dan keadilan.

Pendidikan yang baik bukan hanya sekedar transfer of knowledge (memindahkan pengetahuan). Menjejali anak didik dengan serangkaian ilmu pengetahuan semata, tanpa didasari oleh seperangkat nilai-nilai pendidikan yang substansial, seperti penanaman aspek keperibadian dan pembentukan sikap pendidikan yang sesungguhnya, selain sebagai sarana aktifitas belajar mengajar, seharusnya juga sebagai wadah penanaman nilai humanisme (kemanusiaan), pruralisme (kebersamaan), inklusivisme (tidak egois). Menurut penulis, pendidikan seperti inilah yang merupakan sarana efektif bagi anak-anak didik untuk menjalani kehidupan sosial di tengah masyarakat yang heterogen ini dengan penuh dengan toleransi dan kedamaian.

Dua komponen mendasar tersebut, yaitu agama dan pendidikan, jika dapat berjalan secara beriringan dan saling melengkapi satu dengan yang lainnya, niscaya budaya serba boleh yang begitu gencar meliputi kehidupan kita dewasa ini, dapat kita antisipasi dengan baik. Sehingga, meskipun terpaan angin permisifisme begitu kencang, karena kita punya sandaran yang kokoh, maka nilai-nilai humanisme, pruralisme, inklusivisme tetap kita pegang teguh.